Penggemar
cerita detektif tentu tidak asing dengan tokoh Sherlock Holmes, detektif
nyentrik hasil rekaan penulis legendaris Sir Arthur Conan Doyle. Bersama
rekannya Dr. Watson kali ini ia dihadapkan oleh kasus pelik yang melibatkan
hal-hal yang metafisik. Di samping melindungi Henry Baskerville, satu-satunya
ahli waris Baskerville yang dipastikan menerima seluruh warisan Sir Charles
Baskerville, mereka dituntut untuk menyibak misteri di balik teror anjing
tersebut. Bagaimanapun pikiran rasional Holmes tidak begitu saja dapat menerima
cerita semacam kutukan ataupun mitos.
Menurut
berita yang beredar dan juga penuturan Dr. James Mortimer, kasus kematian
Charles murni disebabkan oleh sakit jantung akibat ketakutan melihat makhluk
gaib. Sebab hanya jejak kaki makhluk semacam anjing berukuran besar yang
ditemukan di sekitar lokasi kejadian. Wajar bila jantungnya yang lemah tiba-tiba
berhenti ketika melihat sesuatu yang begitu menakutkan. Teror tersebut bagai
kutukan yang sudah dipercaya oleh penduduk Devonshire. Beberapa di antaranya
bahkan pernah melihat penampakan si anjing atau mendengar suara lolongannya.
Namun apakah memang kutukan itu benar adanya? Atau ada sesuatu di baliknya?
Segalanya menjadi misteri yang tidak mudah dipecahkan.
Sejak
kedatangan Henry ke London, teror anjing iblis seakan memang
tengah mengintai. Holmes pun menyadari seperti ada yang sedang mengikuti
Henry sejak ia tinggal di sebuah hotel menyusul kejadian-kejadian aneh seperti
hilangnya sepatu milih si pewaris tunggal, juga surat kaleng yang misterius
yang menyuruhnya pergi dari London. Namun, sebagai ahli waris tunggal, sudah
semestinya ia mendatangi dan tinggal Baskerville Hall di Devonshire. Meski
dengan was-was, ia tetap berangkat bersama Dr. Watson tanpa diiringi oleh
Sherlock Holmes karena urusan yang tidak bisa ditinggal. Dan dimulailah
petualangan mengurai misteri kutukan tersebut. Dan hanya Dr. Watson yang harus
mengatasinya selama Holmes tidak dapat mengiringi.
Devonshire
rupanya bukan sehamparan wilayah subur yang indah dan penuh bunga-bunga,
melainkan cenderung kelam, gersang, dan hanya sebagian mempunyai sisi menarik
karena merupakan bekas peninggalan purbakala. Kekelaman Devonshire tidak hanya
soal rawa-rawa Grimpen yang angker, teror anjing, dan kegersangan, tetapi juga
diperparah dengan kabar tentang kaburnya salah satu napi bersembunyi di sana
sehingga terkesan tak nyaman untuk ditinggali. Sebagai penduduk baru, Henry pun
harus beradaptasi dengan orang-orang di sekitarnya. Termasuk sepasang pengurus
rumah, Barrymore dan istrinya, hingga para tetangga seperti Stapleton yang
seorang ahli botani, adik perempuannya, juga wanita berinisial L.L. yang kelak
berkaitan dengan kasus tersebut. Secara rutin Dr. Watson
harus melaporkan fakta yang ditemukan kepada Sherlock Holmes.
Sementara itu peristiwa demi peristiwa aneh terjadi. Dimulai dari suara
tangisan seorang wanita pada malam hari, pasangan Barrymore yang misterius,
tentang Tuan Stapleton, dan juga sejarah-sejarah masa lalu keluarga
Baskerville yang tak terduga. Hingga pada saatnya Watson tak bisa terus menjaga
Sir Henry sepanjang waktu karena ia malah jatuh cinta dengan adik perempuan Stapleton.
Sementara
mereka membuktikan ketidakbenaran teror yang telah turun temurun itu, anjing
iblis yang sering ditakuti dan dipergoki oleh penduduk pun menampakkan diri
secara tiba-tiba dengan bentuk yang luar biasa menyeramkan. Kemunculannya malah
memakan salah satu korban jiwa. Namun kelak anjing tersebut menjadi sebuah
kunci untuk menemukan jawabannya, bersamaan dengan kedatangan Sherlock Holmes
ke Baskerville secara ajaib. Tak menyangka, misteri itu pun bagai struktur
bawang merah, selapis demi selapis terungkapkan, meskipun harus ditempuh dengan
proses yang berbahaya dan mengancam keselamatan Sir Henry, si ahli waris
satu-satunya.
Mungkinkah
kutukan anjing iblis itu akan mengenai Henry Baskerville juga?
Mungkinkah misteri pembunuhan sang konglomerat Sir Charles Baskerville
terdapat campur tangan seseorang?
Kisah diakhiri dengan penjelasan cerita ala Sherlock Holmes secara terperinci dan tak terduga, yang mampu membuat saya nggak menyesal baca novel ini.
Kisah diakhiri dengan penjelasan cerita ala Sherlock Holmes secara terperinci dan tak terduga, yang mampu membuat saya nggak menyesal baca novel ini.
Satu
kekurangan Sherlock Holmes–kalaupun itu bisa disebut sebagai kekurangan–adalah
kecenderungannya yang tidak mau mengatakan apa rencananya kepada orang lain
sampai seluruh rencana itu terwujud. Kecenderungan ini sebagian mungkin karena
sifat aslinya yang ingin selalu di atas angin, ingin selalu mendominasi, dan
juga ingin mengejutkan orang-orang di sekitarnya. (halaman 231)
Sebetulnya
ini novel detektif yang menarik untuk dibaca hingga selesai, andai saja tidak
ditemukan typo
dan kesalahan eja di dalamnya yang sebenarnya cukup mengganggu. Di halaman 118
terdapat sebaris kalimat yang kurang lengkap. “Sama sekali tidak terlintas di pikiran saya bahwa
tempat ini akan begitu membosankan setidaknya Anda…” yang
sepertinya akan lebih pas bila diberi kata ‘bagi’ sebelum kata ‘anda’.
Penggunaan sapaan dan partikel ‘pun’ misalnya yang beberapa masih salah karena
semestinya dipisah seperti ‘rumahpun’, ‘kemanapun’, sampai dengan ‘seorangpun’.
Kata mengerikan beberapa dituliskan ‘menggerikan’ di novel ini. Ada pula kata
‘menenggok’ yang mestinya ditulis menengok. Halaman 246 paragraf akhir juga
kelihatan berdempetan seperti tidak diberi jeda. Typo yang semacam ‘bia’ yang mestinya
dituliskan bisa, dan masih banyak lagi. Sayang sekali karena jumlah kesalahan
eja dan typo-nya memang
bertebaran di mana-mana.
Semoga saja untuk cetakan berikutnya tim redaksi bisa merevisi dengan lebih
baik lagi.
Selebihnya
saya suka cerita bertema detektif yang satu ini. Sudah tidak diragukan lagi
kelihaian Sir Artur Conan Doyle menuliskan jenis cerita yang runut dan
matang seperti ciri khasnya selama ini, ia seperti tidak membiarkan satu
tokoh pun lepas dari jalinan cerita. Dari awal membaca hingga akhir, saya
selalu terpancing untuk menebak-nebak siapa yang bakal jadi tersangka. Di
hadapan Sherlock Holmes, siapa pun mungkin menjadi biang kerok kasus. Dari
judul dan tampilan cover luar, sudah kelihatan bahwa novel ini diwarnai
nuansa horor, dan bagi saya, bumbu horor dalam cerita detektif
salah satu favorit, barangkali karena bawaan dari kecil saya suka nonton Scooby-Doo. Bedanya,
tentu saja, di Scooby-Doo segalanya
kocak dan ala anak-anak, sedangkan di novel karya Arthur Conan Doyle ini
terasa sungguh mencekam suasanya dan lebih serius. Dengan penjabaran setting yang detail,
seakan rasanya seperti mengunjungi pulau asing di mana sewaktu-waktu teror
atau kutukan menyambut kita di balik pohon yang kita lewati. Buat penggemar
cerita detektif atau ingin mengisi waktu dengan bacaan menghibur, novel
bertema detektif yang sarat dengan pesan moral ini menjadi pilihan yang tepat.